" HANJUANG SIANG"
Teundeun di handeuleum hieum
tunda di hanjuang siang
paranti nyokot ninggalkeun
diwadahan cupu manik astagina,
Dituruban ku mandepun
diteundeun di parapatan
dibuka kunu ngaliwat :
anu tagen hatena
anu tigin kana jangjina
anu eling ka purwadaksina
anu waspada kana jamanna.
dibuka patinghaleuang
putra putu tigang ewu
bangawan sawidak lima
nu menta dilalakonkeun.
Yang tersimbol pada handeuleum. Dengan demikian , bisa membijaki kecenderungan perubahan jaman yang disimbolkan didalam hanjuang siang, yakni alam aktual – empiris, berupa alam nyata seperti sekarang ini yang memerlukan ketahanan sosial politik, ekonomi dan budaya, serta memiliki kesadaran prima untuk bela negara
Oleh : R. Utju Mukhlis, BSc
Oleh karena dimensi Catur Watak ini universal, maka muatan maknanya dan prinsip-prinsip yang dikandung didalamnyapun harus senantiasa tercermin dalam pola kebijakan , tingkah laku dan tutur kata Kepemimpinan Siliwangi. Didalam pengertian khusus , berbangsa dan bernegara seyogyanya falsafah ini diaktualisasikan menjadi :
1. Kukuh kana jangji :
Secara prinsipil, harus diartikan sebagai mengukuhi janji untuk tidak melakukan perbuatan-perbuatan atau tindakan-tindakan yang akan mengganggu berbagai dimensi struktural , antara lain, tidak mengambil posisi yang bisa menimbulkan konflik serta berakibat mengganggu keselarasan sosial . jadi prinsip Kukuh kana jangji harus dipahami sebagai kerangka yang berfungsi sebagai batas mutlak bagi segala sesuatu yang akan menimbulkan ketidak rukunan.
2. Leber wawanen
Masalahnya bukan sekedar menciptakan seselarasan sosial , melainkan tidak mengganggu keselarasan yang didambakan oleh berbagai fihak . dari perspektif ini ketenangan dan keselarasan sosial akan tercipta dengan sendirinya selama tidak diganggu . dengan demikian prinsip Leber wawanen bisa juga diartikan sebagai prinsip menghindari konflik . oleh karena itu seyogyanya tidak disebut sebagai prinsip keselarasan tetapi harus diartikan sebagai prinsip pencegahan politik.
3. Medangkeun kamulyan :
Struktur semangat semacam inilah yang sebenarnya, harus selalu dipertahankan oleh segenap insan Siliwangi sebab semangat kultural ini menandai adanya sifat pengabdian yang tidak terbatas kepada Tuhan Yang Maha Esa . pengabdian yang integral terhadap Negara dan bangsa serta kesediaan untuk mempertahankan kebenaran dan keadilan . Ikatan praktis “ simpay sutera pameungkeut “ yang dipertautkan dengan nilai moral itu, merupakan proses homogenisasi tradisi dan budaya yang sarat dengan sistim hubungan sosial yang relatif tanpa cela. Mulanya , falsafah ini menurut leluhur disebut ajaran “Kasumedangan “ (Tajimalela) yang kerap pula disebut falsafah “ Silih Asih – Silih Asuh – Silih Asah” Kemudian oleh Mitra Jajaka Kiansantang tahun 1965, diadu maniskeun menjadi : “ Medangkeun Kamulyan”
4. Silih wawangi
Berpandangan silih wawangi sama halnya dengan cita-cita suatu masyarakat yang teratur dengan baik , dimana setiap orang mengenal tempat atau posisinya masing-masing dan dengan demikian turut saling menjaga agar seluruh masyarakat merupakan Satu kesatuan yang harmonis.
Kesatuan ini hendaknya diakui oleh semua orang dengan membawa diri sesuai dengan tatakrama sosial. Oleh karenanya mereka yang Senior harus diterima sebagai generasi pendahulu yang telah berperan merintis keberadaan organisasi terlepas dari segala kekhilapan dan momentum kelemahannya yang dialami. Sedangkan kepada Generasi yang lebih muda , dituntut adanya rasa tanggung jawab terhadap masa depan organisasi, bangsa dan Negara.
Dalam pemahaman umum , aspek Catur Watak ini lebih menitik beratkan pada eksistensi kepemimpinan dalam pengertian kesatuan, keselarasan, dan berfungsi sebagai perekat intelektual yang dinamis , bebas dari kontradiksi dan konflik serta senantiasa mensyaratkan untuk membentuk diri sebagai pemimpin yang khas berkepribadian. Jadi Lembaga yang menyandang Siliwangi ini sebuah masyarakat yang senantiasa berkaitan erat dengan : Falsafah, sosiologi yang universal, struktur etis masyarakat luas sistim-sistim hukum dan konvensionalnya.
Berbicara soal kepemimpinan, meskipun pengetahuan ilmiah dan teknologi masih diperoleh dari luar. Namun sumber kepemimpinan , karakter, terlebih masa dan nasib pembangunan harus merupakan kelanjutan yang diambil dari sejarah perjuangan bangsa dan identitas bangsa. Oleh karenanya harus disadari bahwa kita akan tetap butuh membekali diri sendiri dengan filsafat pengabdian kepada Negara dan bangsa yang diajarkan oleh para leluhur sebagai pendahulu kita sendiri dan kepemimpinan yang tepat itu hanya dapat dilaksanakan oleh mereka yang mampu memahami “esotorik” yang diasosiasikan kepada kebudayaan sendiri.
Pengaruh budaya ini tidak didasarkan pada kualifikasi formal saja melainkan juga pada sifat “ngasuh” terhadap yang dipimpinnya. Kemampuan membina hubungan historis dengan Kodam III / Siliwangi di satu sisi dan ngasuh anggota pada sisi lain merupakan sesuatu yang bisa dipelajari dari sejarah . dengan demikian karena otoritas itu bukanlah aspek fisik belaka melainkan juga aspek spiritual maka untuk menentukan kriteria seorang pemimpin harus bisa memperlihatkan kedua aspek itu dari dalam dirinya.
Oleh karena latihan bathin dan disiplin bathin jauh lebih fundamental dari disiplin lahir, karena itu pula “pembinaan program spiritual” bagi para pemimpin yang menyandang sebutan Siliwangi harus dianggap satu hal yang amat penting. Sebab :
Pertama, dimaksudkan untuk membangun etika sistim pengendalian diri atas kekuasaan absolut bagi seorang pemimpin.
Kedua, idiologi yang mendasarinya untuk mengekang ekses-ekses kepentingan dan keinginan diluar ketentuan sebenarnya .
Ketiga, untuk menentukan dan mengembangkan dimensi luar dari kekuatan bathin yang akan berguna, baik untuk bela Negara maupun untuk bisa bertahan dalam berkompetisi positif dengan kelompok sosial lain yang kian merebak.
dari buku “Analisa dan pengalaman “SAPARAKANCA”
yang disusun oleh : Ki Lanceuk, R. UTJU MUKHLIS, BSc
- Salah satu unsur Pendiri AMS -
Tidak ada komentar:
Posting Komentar